PELAKSANAAN
PROGRAM INPRES DESA TERTINGGAL (IDT)
SAMPAI TA. 1996/97

 
 
Pendahuluan

Berbagai keberhasilan yang telah dicapai dalam Pembangunan Nasional selama ini tidak dapat dipungkiri oleh semua pihak dan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dibalik keberhasilan pembangunan tersebut, ternyata masih tersimpan permasalahan yang harus segera diselesaikan, yaitu masalah kemiskinan.Seperti diketahui bahwa masih ada 27 % masyarakat kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Walaupun dari waktu ke waktu jumlah penduduk miskin telah menurun dari sekitar 70 juta jiwa atau sekitar 60 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 25,9 juta jiwa atau sekitar 13,67 persen pada tahun 1993, namun pemasalahan ini perlu ditangani secara cepat dan cermat melalui berbagai program pembangunan baik sektoral maupun regional.Oleh karena itu pemerintah bertekad untuk membantu mereka yang masih berada dibawah garis kemiskinan, dengan telah dilancarkannya suatu program khusus, yaitu program Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Sesuai dengan misinya Program IDT dimaksudkan untuk meningkatkan upaya penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan di desa-desa tertinggal. Melalui program IDT akan dipadukan berbagai program sektoral maupun regional yang mencakup desa-desa tersebut sehingga secara efektif akan berdampak besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan.Setelah hampir dua tahun pelaksanaan program IDT yang dirasakan membawa beberapa keberhasilan, maka pemerintah memperluas cakupan dari sasaran penduduk miskin yang berada di luar desa tertinggal. Melalui Kantor Menteri Kependudukan kemudian dilancarkan program Takesra dan Kukesra yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, terutama bagi penduduk yang berada di desa non IDT yang masih belum sejahtera (pra sejahtera). Program Takesra dan Kukesra ini pada dasarnya adalah dimaksudkan sebagai pelengkap program IDT dan sebagai bagian dari upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan, secara keseluruhan dari tujuan pembangunan nasional.

 

Pelaksanaan program IDT dilakukan langsung oleh masyarakat desa tertinggal itu sendiri, dibantu oleh aparat pemerintah daerah pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat. Karena itu, peranan aparat pemerintah desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh lembaga masyarakat yang ada di desa/kelurahan, seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Program IDT merupakan perluasan dan peningkatan dari berbagai program dan upaya serupa yang telah dilaksanakan selama ini, seperti Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), kegiatan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera Keluarga Berencana (UPPKS-KB), dan program serupa yang dilaksanakan oleh PKK. Program PKT dan program lain yang menangani langsung masalah kemiskinan pada tingkat perdesaan di desa tertinggal selanjutnya diintegrasikan ke dalam program IDT.

Program IDT adalah program untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha. Dalam rangka itu, program IDT diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk mewujudkan kemandirian penduduk miskin di desa/kelurahan tertinggal dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi dan pemasaran, terutama yang sumberdayanya tersedia di lingkungan masyarakat setempat. Guna mempercepat upaya itu disediakan dana sebagai modal kerja bagi penduduk miskin untuk membangun dan mengembangkan kemampuan dirinya. Dengan ketersediaan modal, penduduk miskin diharapkan akan lebih mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya secara mandiri.

Program IDT merupakan kebijaksanaan terpadu untuk meningkatkan potensi dan dinamika ekonomi masyarakat lapisan bawah. Penguatan ekonomi rakyat yang merupakan bagian terbesar dari penduduk diharapkan dapat menghasilkan landasan yang lebih kukuh bagi pembangunan nasional karena meningkatkan daya beli masyarakat secara menyeluruh. Dalam kerangka ini, program IDT secara umum bertujuan memantapkan segi kelembagaan sosial ekonomi penduduk miskin sebagai wadah penyaluran aspirasi mereka dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui usaha produktif yang berkelanjutan.

Pemanfaatan dana program IDT pada dasarnya diserahkan kepada penduduk miskin itu sendiri karena merekalah yang paling mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan dan kebutuhan yang paling mendesak, dengan bimbingan dan pendampingan. Tata cara penyaluran yang menjadi sasaran program dapat dengan mudah memahami dan menggunakannya.

Program IDT diarahkan untuk mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan jumlah desa atau kelurahan tertinggal. Selain itu, program IDT dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada dalam kerangka penanggulangan kemiskinan secara komprehensif. Pada tingkat kelompok sasaran, program IDT bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, mendorong perubahan struktur masyarakat, dan membangun kemampuan masyarakat melalui pengembangan, peningkatan dan pemantapan kondisi sosial ekonomi.

 

Hakekat Program IDT

Dengan hakikat ini maka dalam program IDT terkandung tiga pengertian dasar. Pertama, sebagai pemicu dan pemacu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan melalui kepedulian diantara yang telah maju dan kuat untuk saling membantu yang miskin dan tertinggal. Kedua, merupakan strategi pemerataan dan penajaman program pembangunan yang ditujukan kepada penduduk miskin di desa tertinggal. Penajaman program ini tertuang dalam pengalihan program yang semula dipusatkan, secara bertahap dan terprogram dialihkan dan ditujukan langsung kepada masyarakat yang paling memerlukan. Ketiga, sebagai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat dalam perubahan struktur yang tumbuh dari kemampuan masyarakat sendiri.

Sebagai suatu strategi pembangunan terkandung adanya moral pembangunan bahwa pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, adanya pemihakan kepada penduduk miskin di desa tertinggal, serta terselenggaranya koordinasi program pembangunan prasarana dan sarana yang diarahkan untuk membuka keterisolasian, dan meningkatkan peran serta dan produktivitas rakyat dalam kegiatan sosial ekonomi. Kesimpulannya, program IDT adalah upaya pembangunan moral melalui peningkatan kesadaran, kemauan, tanggung jawab, rasa kebersamaan, harga diri dan percaya diri masyarakat. Pada akhirnya, aparatur pemerintah dituntut untuk semakin terbuka, peka, peduli dan tanggap terhadap permasalahan pembangunan sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.

 

Komponen Program IDT

Untuk melaksanakan program IDT terdapat tiga komponen, yaitu 1) penyediaan dana bergulir sebagai modal usaha ekonomi produktif, 2) penyediaan tenaga pendamping, dan 3) pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal. Ketiga komponen tersebut sedapat mungkin dapat menjangkau dan langsung dilaksanakan oleh penduduk miskin di desa yang memerlukan.

Disamping ketiga kegiatan di atas, dalam rangka memperkuat perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan selanjutnya juga dilaksanakan komponen kegiatan penguatan kelembagaan,yang akan dilaksanakan bagi Aparat Daerah dan Pusat, kegiatan Bantuan Pengembangan Kecamatan yang saat ini sedang dalam tahap penyiapan; dan kegiatan Sistem Pengelolaan Informasi program IDT, sebagai kegiatan pendukung dan penunjang program penanggulangan kemiskinan berupa kegiatan evaluasi, pemantauan dan publikasi program IDT.

 

A. Komponen Bantuan Langsung

1. Latar Belakang

Komponen program IDT berupa Bantuan Langsung bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin guna meningkatkan taraf hidupnya dengan membuka kesempatan berusaha. Dalam kerangka ini, Bantuan Langsung diarahkan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk mewujudkan kemandirian penduduk miskin di desa atau kelurahan tertinggal dengan penerapan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi.

Dana bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat ini bersifat hibah yang dikelola oleh kelompok dengan pencatatan secara tertib dan transparan. Pencatatan dimaksudkan untuk pemantauan dan penyempurnaan program. Selain itu pencatatan merupakan sarana peningkatan kemampuan dalam pengelola dana sejalan dengan proses transformasi struktur yang terjadi dalam masyarakat luas.

Perubahan struktur yang diharapkan dan diupayakan melalui program IDT adalah terwujudnya proses yang benar, yang dimaksud dengan proses yang benar adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati, begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan.

Dengan berpedoman pada proses yang benar tersebut, maka setiap kegiatan produksi akan menghasilkan dan meningkatkan pendapatan. Kelebihan pendapatan yang diperoleh merupakan sumber pemupukan modal yang dapat diinvestasikan kembali untuk memperkuat sumber-sumber pendorong pertumbuhan. Surplus tersebut dipergunakan untuk membiayai investasi di bidang penelitian dan prasarana, serta untuk menunjang adanya insentif yang cukup untuk menerapkan teknologi baru sehingga memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas yang berkesinambungan. Proses yang berkelanjutan demikian dapat diartikan sebagai suatu proses pembangunan yang tumbuh berkembang. Hasil akhir dari proses tersebut berupa meningkatnya produksi, konsumsi, dan terpenuhinya kebutuhan sosial secara memadai tersebut sebagai pertumbuhan. Dari hubungan ini dikenal istilah pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan dan sebaliknya pertumbuhan merupakan hasil dari proses pembangunan.

 

2. . Hasil Pelaksanaan Bantuan Langsung Selama tiga tahun anggaran, 1994/95, 1995/96, dan 1996/97, program IDT telah mencakup 28.223 desa. Jumlah desa yang mendapatkan alokasi dana Bantuan Langsung dalam tahun anggaran 1994/95 adalah sebanyak 20.633 desa, dengan jumlah alokasi dana sebesar Rp. 412,66 miliar. Jumlah desa tersebut pada tahun anggaran 1995/96 secara akumulatif meningkat hingga menjadi sebanyak 22.094 desa, dengan jumlah alokasi dana sebesar Rp. 441,88 miliar. Peningkatan jumlah desa dan jumlah alokasi dana ini merupakan bukti adanya perhatian pemerintah untuk meningkatkan dan mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. Pada tahun anggaran 1996/97 jumlah desa yang mendapatkan alokasi dana Bantuan Langsung adalah sebanyak 22.054 desa, dengan jumlah alokasi dana sebesar Rp. 441,08 miliar. Untuk perincian jumlah desa IDT masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 1.

Jumlah desa yang telah mencairkan dana Bantuan Langsung untuk tahun anggaran 1994/95 mencapai 20.627 desa atau sekitar 99,97 persen. Jumlah dana yang sudah dicairkan mencapai Rp. 411,83 milyar atau sekitar 99,80 persen. Pengembalian modal mencapai Rp. 142,57 milyar atau sekitar 34,62 persen, sedangkan perguliran dana mencapai Rp. 75,59 milyar atau sekitar 53,02 persen. Untuk perincian per propinsi dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada tahun anggaran 1995/96, desa yang telah mencairkan dana mencapai 21.584 desa atau sekitar 97,69 persen. Jumlah dana yang telah dicairkan mencapai Rp.431,61 milyar atau sekitar 97,69 persen. Pengembalian modal mencapai Rp. 70,69 milyar atau sekitar 16,39 persen, sedangkan perguliran dana mencapai Rp. 24,11 milyar atau sekitar 34,10 persen. Untuk perincian per propinsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Untuk tahun anggaran 1996/97, jumlah desa yang telah mencairkan dana mencapai 18.314 desa atau sekitar 83,04 persen. Jumlah dana yang telah dicairkan mencapai Rp 366,35 milyar atau sekitar 83,06 persen. Data tentang pengembalian modal dan perguliran dana untuk tahun anggaran 1996/97 belum ada. Untuk perincian per propinsi dapat dilihat pada Tabel 4.

Jumlah Pokmas dalam tahun anggaran 1994/95 sebanyak 89.273 pokmas dengan jumlah anggota sebanyak 2.475.396 orang. Secara akumulatif jumlah tersebut untuk tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat hingga menjadi sebanyak 106.960 pokmas dengan jumlah anggota sebanyak 2.873.612 orang. Pada tahun anggaran 1996/97, jumlah tersebut secara akumulatif meningkat menjadi 123.000 pokmas dengan jumlah anggota sebanyak 3.446.573 orang. Untuk perincian per propinsi dapat dilihat pada Tabel 5.

3. Permasalahan dan kendala

Masalah paling besar yang dihadapi dalam pelaksanaan program IDT adalah kesulitan dalam menjangkau wilayah-wilayah desa tertinggal yang amat tersebar dan terisolasi seperti di Irian Jaya, Maluku Tenggara, Wilayah perbatasan Kalimantan, dan wilayah-wilayah kepulauan Riau, Nias, Sangir Talaud dan Banggai. Banyak di antara desa-desa terisolasi ini tidak dapat dijangkau dengan jalan darat atau laut, tetapi hanya dapat dijangkau dengan pesawat kecil dan atau bahkan dengan berjalan kaki beberapa hari. Juga banyak Kecamatan belum memiliki kantor-kantor bank atau kantor pos yang dapat menyalurkan dana IDT. Untuk mengatasi kendala ini Pemerintah telah mengupayakan untuk memberikan secara langsung kepada pokmas melalui jasa pos atau bank

Selama ini sebagai program pemerintah yang harus mampu "menggulirkan" dana IDT, banyak masyarakat yang dilaporkan "belum siap" melaksanakan program. Masalah "kesiapan" masyarakat ini sering menimbulkan perbedaan pendapat karena sosialisasi program dari aparat pemerintahlah dirasakan masih belum optimal sehingga berpengaruh pada pelaksanaanya. Belum optimalnya aparat mencakup masih terbatasnya pemahaman mengenai konsep dasar dan filosofi program IDT yang menekankan pentingnya memberikan kepercayaan kepada anggota Pokmas untuk memanfaatkan dana IDT sesuai kemampuan yang dimiliki dan potensi sumber daya alam setempat. Hal inilah yang kadang kala di berbagai daerah terjadi "campur tangan yang terlalu jauh" dari pihak-pihak tertentu, baik pada tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten, terutama dalam penentuan jenis usaha anggota pokmas. Hal ini pula menyebabkan anggota pokmas sering tidak merasa mengembangkan usahanya sendiri dalam rangka membebaskan diri dari belenggu kemiskinan, melainkan melaksanakan "Proyek Pemerintah" pada umumnya yang lebih dirasakan sebagai program dari pusat (top down). Hasil akhirnya tentu dirasakan "kurang optimalnya" usaha anggota pokmas yang bersangkutan dalam mengelola bantuan langsung.

Bentuk lain belum optimalnya peranan aparat pemerintah adalah masih belum terdapat pemahaman yang sama mengenai Pemihakan pada upaya Pemberdayaan masyarakat lapisan bawah. Meskipun mungkin mereka sudah memahami konsep dasar dan filosofi program IDT, namun aparat pemerintah dirasakan masih belum sepenuhnya berinisiatsif mengambil langkah-langkah untuk mendukung pelaksanaan progam IDT di daerahnya. Namun demikian, di sejumlah propinsi telah banyak pemerintah daerah yang sudah mengambil prakarsa-prakarsa untuk mendukung pelaksanaan program IDT.

Beberapa kendala yang menyangkut kurangnya pemahaman dari sebagian Aparat Daerah inipun telah diupayakan oleh Pemerintah Pusat untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang maksud dan tujuan dari program IDT utamanya maksud pemberian Bantuan Langsung kepada masyarakat kurang mampu. Upaya penyamaan persepsi ini harus secara terus-menerus dilakukan kepada semua pihak demi keberhasilan dan kelangsungan program IDT sebagai gerakan nasional penanggulangan kemiskinan.

4. Kegiatan Penunjang Bantuan Langsung Dalam pelaksanaannya, program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung secara nyata menghadapi kendala berupa masih belum optimalnya penyusunan data base yang berasal dari jalur monitoring rutin yang dilaksanakan oleh Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri, serta masih belum adanya evaluasi yang cukup representatif terhadap pelaksanaan komponen Bantuan Langsung.

Untuk menunjang pelaksanaan komponen Bantuan Langsung serta memecahkan kendala tersebut maka saat ini telah dan sedang dilakukan beberapa kegiatan penunjang, yaitu Studi Penyempurnaan Sistem Monitoring Bantuan Langsung (PMD Monitoring of IDT Programme), dan Evaluasi Proses Pelaksanaan Bantuan Langsung (Rapid Rural Appraisal to Monitor IDT Programme).

 

PMD Monitoring of IDT Programme

a. Latar Belakang Pelaksanaan Program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung Rp. 20 juta selama 3 (tiga) tahun anggaran dalam kenyataannya sulit untuk dipantau perkembangannya dari mulai tahap sosialisasi, implementasi, sampai dengan tahap evaluasi. Hal ini menyebabkan sampai dengan saat ini belum dapat tersusun data dasar yang akurat tentang perkembangan komponen Bantuan Langsung.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka untuk meningkatkan dan menguatkan kemampuan usaha pemantauan dan evaluasi Bantuan Langsung telah dilakukan studi khusus yang diharapkan dapat menghasilkan suatu sistem pemantauan bagi komponen Bantuan Langsung.

b. Pelaksanaan Studi Studi dilaksanakan selama dua tahun anggaran yang di mulai pada tahun anggaran 1996/97 untuk tahap penyusunan sistem pemantauan dan dilanjutkan pada tahun anggaran 1997/98 untuk tahap implementasi sistem pemantauan, pengumpulan data, dan penyusunan data base secara nasional. Studi tersebut dilaksanakan dengan bantuan sumber dana hibah dari pemerintah Jepang. c. Hasil Studi Secara umum hasil studi tahun anggaran 1996/97 berupaya untuk menyempurnakan perbaikan sistem pemantauan Bantuan Langsung, dari satu jalur sistem pemantauan bulanan dikembangkan menjadi tiga jalur sistem pemantauan bulanan dan triwulanan.

Sistem pemantauan yang lama, melalui formulir PK, PP-1, PP-2, dan PP-3, semula hanya berfungsi untuk memantau: (1) penerimaan dana bantuan langsung oleh pokmas, dan (2) distribusi dana bantuan langsung oleh pokmas ke anggota.

 

 

 

 

 

Sistem pemantauan yang baru terdiri dari tiga jalur:

i) Sistem Pemantauan Bulanan

Sistem pemantauan bulanan melalui penggunaan formulir BK dan BD berfungsi untuk memonitor: (1) penerimaan dana bantuan langsung oleh pokmas, (2) distribusi dana bantuan langsung oleh pokmas ke anggota, (3) pengembalian dana bantuan langsung oleh anggota ke pokmas, (4) perguliran dana bantuan langsung oleh pokmas ke anggota, (5) jasa pengembalian dan perguliran yang diterima oleh pokmas, dan (6) simpanan anggota.

ii) Sistem Pemantauan Triwulanan

Sistem pemantauan triwulanan menggunakan formulir KU, yang berfungsi untuk mengukur pertumbuhan usaha pokmas IDT.

iii) Apraisal Triwulanan Apraisal Triwulanan menggunakan formulir QA-1 dan QA-2, yang dapat dikembangkan ke formulir QA-1A dan QA-2A, yang berfungsi untuk menemukenali dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha pokmas IDT.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sistem pemantauan dapat dilihat pada bagian sistem pengelolaan informaasi program IDT.

Rapid Rural Appraisal to Monitor IDT Programme

a. Latar Belakang Dalam upaya untuk mendapatkan gambaran dan masukan dari seluruh proses pelaksanaan program IDT khususnya komponen Bantuan Langsung diperlukan suatu langkah konkrit dalam menyempurnakan program IDT secara berkesinambungan.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka studi Rapid Rural Appraisal dilaksanakan untuk memantau pelaksanaan program IDT khususnya Bantuan Langsung agar dapat dihasilkan suatu bentuk evaluasi secara cepat dan tepat dengan menggunakan jumlah sampel desa IDT secara tertentu.

b. Pelaksanaan Studi Studi dilaksanakan selama satu tahun anggaran (1996/1997) oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia. Sumber dana untuk penelitian bersumber dari dana hibah pemerintah Jepang. c. Hasil Studi Upaya melihat sejauh mana dampak ekonomi Pokmas pada tingkat desa akan berpengaruh atau dipengaruhi kondisi desa dilakukan dengan mengidentifikasi variabel-variabel tertentu.

Dari 1.227 desa, terdapat 714 desa yang kondisinva Amembaik@ setelah adanya Program 1DT dan sebanyak 513 desa yang kondisinya tetap atau tidak ada perubahan sejak program IDT.

Desa-desa yang termasuk kategori IDT disebabkan oleh faktor-faktor kondisi sarana dan prasarana yang minim, terisolasi, kesulitan bahan baku lokal dan kurang memiliki akses pada pasar, SDM di desa rendah menyebabkan bertambah sulitnya dilakukan pembinaan yang baik oleh pendamping maupun aparat terkait sehingga dana IDT yang diterima menjadi berkembang dan kurang produktif.

Hal yang menarik dari pengukuran variabel tertentu diketahui bahwa semakin desa dekat ke pasar, maka semakin belum menghasilkan dampak ekonomi pada Pokmas tingkat desa. Kenyataan di atas bisa disebabkan oleh adanya persaingan dengan pelaku ekonomi lain, dengan sesama Pokmas, kualitas produk, harga produk dan sebagainya. Hal tersebut juga membawa dampak dari cara penentuan jenis dan kemampuan usaha yang dilakukan. Kebalikan dari kenyataan tersebut di atas, adanya pasar khusus lebih cenderung menyebabkan adanya dampak ekonomi pada tingkat desa. Selanjutnya, usaha yang dilakukan oleh individu/keluarga cenderung lebih memiliki dampak ekonomis pada desa dari pada usaha secara berkelompok

Dilihat pada klasifikasi desa maka desa aliran sungai, desa pegunungan dan desa kawasan hutan memiliki dampak langsung dari kegiatan ekonomi.Seperti diketahui bahwa sektor primer yang banyak terdapat pada kategori desa tersebut di atas adalah sektor pertanian persawahan. Tipe petani persawahan adalah tipe petani yang berdomisili menetap dan relatif memiliki hubungan yang rutin dengan pasar, dibanding dengan tipe petani ladang berpindah atau masyarakat meramu dan berburu.

B. Komponen Bantuan Pendampingan

1. Latar Belakang

Program Bantuan Pendampingan bertujuan untuk memberikan bantuan pendampingan kepada masyarakat miskin di perdesaan (atau anggota pokmas) dalam membantu menghidupkan dan mengembangkan pokmas sebagai wadah peningkatan kesejahteraan. Dalam melaksanakan perannya seorang pendamping harus menghargai kemandirian pokmas. Artinya, keputusan tertinggi tetap ada di tangan pokmas. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya pokmas, kebutuhan akan tenaga pendamping diharapkan akan semakin berkurang sehingga Pokmas akhirnya benar-benar mandiri.

Ada tiga kategori pendamping dalam program IDT, yaitu Pendamping Lokal, Pendamping Teknis, dan Pendamping Khusus. Pendamping lokal adalah pendamping yang berasal dari anggota masyarakat desa setempat serta dari Kader Pembangunan Desa (KPD) yang pembinaannya dilakukan oleh Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yang ada di bawah struktur Departemen Dalam Negeri. Pendamping teknis adalah pendamping yang berasal dari petugas penyuluh lapangan dari instansi sektoral terkait, seperti Petugas Penyuluh Lapangan dari Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, BKKBN, dan sebagainya. Untuk data KPD dan PPL masing-masing dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Pendamping khusus berasal dari para sarjana yang ditugaskan khusus untuk mendampingi pokmas secara purna waktu. Pendamping khusus ini selanjutnya disebut dengan Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W). SP2W terdiri dari unsur Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Bea Siswa Supersemar (KMA-PBS), Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (SP3), Departemen Tenaga Kerja melalui Tenaga Kerja Mandiri Profesional (TKMP), Departemen Sosial melalui Petugas Sosial Kecamatan (PSK).

Mengingat peran penting SP2W dalam pelaksanaan program IDT, maka diperlukan dukungan dan pembinaan yang terus menerus dan berkelanjutan, baik dukungan berupa biaya hidup, biaya operasional, perhatian dan penghargaan, maupun pembinaan berupa peningkatan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan komitmen dari para SP2W. Untuk SP2W yang berada dibawah pengelolaan dan pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Tenaga Kerja, dan Departemen Sosial, semuanya dilakukan oleh departemen masing-masing. Khusus untuk pengelolaan dan pembinaan SP2W yang berasal dari KMA-PBS dan unsur Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah serta pembinaan sumber daya manusia di desa-desa tertinggal, Bappenas membentuk Proyek Pembinaan Khusus Desa Tertinggal (PKDT).

2. Hasil Pelaksanaan Komponen Pendampingan

Pada tahun anggaran 1994/95 jumlah pendamping pokmas sebanyak 54.015 orang, yang terdiri dari 50.078 pendamping lokal dan 3.937 pendamping khusus yang berasal dari SP2W. Secara rinci, 1.004 terdiri dari unsur KMA-PBS, sebanyak 200 orang dari unsur SP3, 1.094 orang dari unsur TKMP, 713 orang dari unsur PSK, dan 936 orang dari perguruan tinggi atau Pemda untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Pada tahun anggaran 1995/96 jumlah pendamping pokmas secara kumulatif sebanyak 60.135 orang, yang terdiri dari 56.198 pendamping lokal dan 3.937 pendamping khusus yang berasal dari SP2W. Komposisi pendamping khusus untuk tahun anggaran 1995/96 sama dengan pada tahun anggaran 1994/95 untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Pada tahun anggaran 1996/97 jumlah pendamping pokmas secara kumulatif sebanyak 70.633 orang, terdiri dari 66.696 pendamping lokal dan 3.937 pendamping khusus yang berasal dari SP2W dengan komposisi sama pada tahun anggaran sebelumnya (lihat Tabel 10).

a. Pelaksanaan Tahun Anggaran 1994/95

i) Pelatihan dan Penempatan 1.931 SP2W Pada tahun anggaran 1994/95 PKDT telah melatih dan menempatkan 1.931 SP2W yang ditempatkan pada desa-desa tertinggal parah di seluruh Indonesia. SP2W yang dikelola oleh Bappenas tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu: 1.007 SP2W berasal dari KMA-PBS dan 924 SP2W berasal dari unsur Perguruan Tinggi/Pemerintah Daerah.

Dari kegiatan pelatihan pendampingan ini, telah dilatih dan ditampatkan sebanyak 1.931 Sarjana Pandamping Purna Waktu di desa tertinggal parah seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan dan pemantauan lapangan diketahui bahwa keberadaan SP2W telah mampu menjadi mitra kerja yang produktif bagi kelompok IDT yang didampinginya. Sebagai mitra kerja SP2W berhasil memotivasi semangat usaha kelompok, dan mampu membina organisasi kelompok menjadi organisasi kelompok yang baik.

ii) Penelitian Kaji Tindak Tipologi Desa

Dalam tahun anggaran 1994/95, melalui bantuan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) telah dilaksanakan kegiatan penelitian kaji tindak tipologi desa di 40 desa tertinggal parah seluruh Indonesia. Kegiatan penelitian dilaksanakan melalui kerjasama antara PKDT-Bappenas dengan 27 Universitas seluruh Indonesia.

Hasil dari kegiatan penelitian kaji tindak ini adalah rekomendasi tentang pelaksanaan program IDT. Dari rekomendasi yang didapat, selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program yang telah berjalan dan sebagai pertimbangan untuk menentukan arah kebijaksanaan pelaksanaan program IDT untuk tahun berikutnya.

b. Pelaksanaan Tahun Anggaran 1995/96

i) Pembinaan dan Pemantauan SP2W Pembinaan dan pemantauan SP2W ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan dengan metode belajar orang dewasa (andragogy). Pelatihan diawali dengan TOT di Palembang, Sumatera Selatan. Kemudian dilanjutkan dengan pelatihan untuk SP2W di 22 lokasi.

Dari kegiatan pelatihan pemandu (TOT) telah berhasil melatih 47 orang calon pemandu yang akan memandu pelatihan pendamping di daerah. Sedangkan dari pelatihan SP2W di 23 daerah telah mampu meningkatkan kemampuan praktis dan teknis SP2W. Hasil lain adalah diperolehnya masukan tentang pelaksanaan IDT di daerah, juga beberapa usulan perbaikan.

iiii) Pembayaran Biaya Hidup dan Operasional SP2W

Salah satu kegiatan proyek PKDT dalam pembinaan SP2W adalah menyalurkan biaya hidup dan biaya operasional bagi SP2W KMA-PBS dan PT/Pemda guna mendukung pelaksanaan tugas pendampingan di desa tertinggal parah. Besarnya biaya hidup dan biaya operasional yang diberikan berkisar antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 275.000,- per orang sesuai dengan daerah masing-masing.

Pembayaran biaya hidup dan operasional ini bekerja sama dengan PT. Pos Indonesia dengan menggunakan fasilitas Wesel Pos Berlangganan (WPL). Melalui kerjasama PKDT dengan PT. Pos Indonesia telah dapat disalurkan biaya hidup dan operasional bagi 1931 SP2W di seluruh Indonesia.

iii) Bantuan Pembangunan Prasarana Fisik Desa Tertinggal Parah Pada umumnya desa-desa tertinggal terletak pada lokasi yang terisolasi dan minim sarana dan prasarana pendukung. Atas dasar tersebut PKDT menetapkan suatu program bantuan pembangunan prasarana fisik desa tertinggal. Dana bantuan tersebut bersumber dari bantuan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI).

Pada tahun anggaran 1995/96 telah diberikan bantuan pembangunan prasarana fisik desa tertinggal pada 37 desa tertinggal di 26 propinsi. Bantuan yang diberikan berkisar antara Rp.100 juta sampai dengan Rp. 130 juta per desa. Prasarana yang dibangun berupa: jalan desa, MCK, sarana air bersih, jembatan, dan tambatan perahu.

Dari prasarana fisik yang dibangun, mampu membuka keterisolasian desa sehingga mendukung peningkatan produktifitas perekonomian desa. Di samping itu pembangunan prasarana fisik juga mampu meningkatkan kesehatan lingkungan masyarakat desa.

iv) Penelitian Kaji Tindak Tipologi Desa Dalam tahun anggaran 1995/96, melalui bantuan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) telah dilaksanakan kegiatan penelitian kaji tindak tipologi desa di 40 desa tertinggal parah seluruh Indonesia. Kegiatan penelitian dilaksanakan melalui kerjasama antara PKDT-Bappenas dengan 27 Universitas seluruh Indonesia. Kegiatan penelitian ini merupakan kelanjutan dari kegiatan penelitian kaji tindak tahun 1994/95. Selain penelitian kaji tindak tipologi desa juga dilaksanakan penelitian kaji tindak masyarakat terasing melalui bantuan Bank Dagang Negara (BDN). Penelitian masyarakat terasing dilaksanakan oleh 4 universitas di 4 propinsi.

Hasil dari kegiatan penelitian kaji tindak ini adalah rekomendasi tentang pelaksanaan program IDT. Dari rekomendasi yang didapat, selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program yang telah berjalan dan sebagai pertimbangan untuk menentukan arah kebijaksanaan pelaksanaan program IDT untuk tahun berikutnya.

 

 

c. Pelaksanaan Tahun Anggaran 1996/97

Pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 1996/97 melanjutkan kegiatan pada tahun anggaran sebelumnya, khususnya untuk kegiatan pembinaan dan pemantauan SP2W, dan kegiatan kaji tindak tipologi desa dan masyarakat terasing. Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahun anggaran 1996/97.

i) Pelatihan Pendamping Lokal Daerah Terisolasi

Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) yang tersedia saat ini sangatlah terbatas jika dibandingkan dengan jumlah desa tertinggal yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendamping, maka PKDT mengadakan pelatihan pendamping lokal untuk daerah terisolasi.

Pelatihan Pendamping Lokal daerah terisolasi merupakan kegiatan penyediaan tenaga pendamping baru untuk daerah Propinsi Timor Timur, dan daerah terisolasi lainnya yaitu: Daerah Tingkat II Kabupaten di seluruh Propinsi Maluku, Kabupaten Sangihe Talaud Propinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Kepulauan Riau Propinsi Riau, dan Kabupaten Nias Propinsi Sumatera Utara.

Dari kegiatan pelatihan pendamping lokal baru pada 9 wilayah kabupaten telah berhasil dilatih dan ditempatkan sebanyak 126 tenaga pendamping baru, yang selanjutnya disebut Pendamping Purna Waktu (P2W).

ii) Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Program IDT Dari kegiatan pelatihan peningkatan kemampuan pendampingan bagi kelompok masyarakat di 26 wilayah di seluruh Indonesia, telah tersaring sejumlah 314 orang SP2W yang dinilai memiliki kemampuan dan prestasi lebih dibanding SP2W lainnya. SP2W yang terpilih ini perlu diberi pembinaan dan koordinasi agar mampu menjadi Kader Penggerak Pembangunan Masyarakat Desa (KPPMD).

Koordinasi Pemantapan KPPMD, yang merupakan kegiatan pembinaan lanjutan bagi SP2W yang mendapatkan tugas sebagai kader.

Evaluasi Pelaksanaan Pendampingan SP2W Program IDT sebagai upaya untuk memantau kinerja KPPMD dan temuan-temuan selama mereka bertugas di lapangan.

Dari kegiatan Koordinasi Pemantapan Program IDT diperoleh informasi dan temuan-temuan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, khususnya program IDT. Temuan-temuan tersebut selanjutnya dijadikan acuan untuk kebijakan pelaksanaan program IDT selanjutnya. Selain itu kegiatan ini juga telah mampu meningkatkan kemampuan, wawasan, dan keterampilan bagi SP2W sebagai calon kader penggerak membangunan masyarakat desa.

iii) Bantuan Pembangunan Prasarana Fisik Desa Tertinggal Parah Tahun anggaran 1996/97 telah diberikan bantuan pembangunan prasarana fisik desa tertinggal pada 81 desa tertinggal di 24 propinsi. Bantuan yang diberikan sebesar Rp.115 juta per desa. Prasarana yang dibangun berupa: jalan desa, MCK, sarana air bersih, jembatan, dan tambatan perahu.

Dari prasarana fisik yang dibangun, mampu membuka keterisolasian desa sehingga mendukung peningkatan produktifitas perekonomian desa. Selain itu pembangunan prasarana fisik juga mampu meningkatkan kesehatan lingkungan masyarakat desa.

C. Komponen Bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT)

1. Latar Belakang

Dalam rangka mendukung Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Pemerintah telah membuat suatu Program yaitu Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT telah dimulai pada tahun pertama Pelita VI (TA. 1993/1994) dengan memberikan bantuan modal usaha berupa dana bergulir kepada lebih 20 ribu desa tertinggal dengan dana sebesar Rp. 20 juta setiap tahun. Bantuan dana bergulir ini diberikan selama 3 tahun anggaran. Sejalan dengan bantuan dana bergulir tersebut pemerintah juga memberikan bantuan teknis pendampingan yang memberikan bantuan teknis kepada masyarakat desa dalam rangka pemanfaatan dana bergulir tersebut.

Pada TA. 1995/1996 dalam rangka mendukung pengembangan kegiatan ekonomi di desa tertinggal tersebut selain bantuan modal dan bantuan teknis, pemerintah dengan pihak donor yang berasal dari Jepang dan Bank Dunia telah melakukan kerjasama untuk meningkatkan program penanggulangan kemiskinanan dengan membangun prasarana yang menyediakan akses dan prasarana penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan di desa tertinggal. Bantuan tersebut dinamakan Bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).

2. Batuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) a. Tujuan Bantuan P3DT

Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah maka Bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) ini dilaksanakan dengan tujuan jangka panjang adalah Pemberdayaan Masyarakat melalui tujuan jangka pendek yang meliputi :

pertama meningkatkan akses pemasaran dan mengurangi isolasi daerah

kedua meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

ketiga menciptakan lapangan kerja di desa

keempat meningkatkan kemampuan kelembagaan desa dan masyarakat

kelima meningkatkan ketrampilan masyarakat desa dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemeliharaan prasarana yang telah dibangun.

keenam meningkatkan pembentukan modal di desa.
b. Strategi Untuk Mencapai Tujuan

Untuk mencapai keenam tujuan tersebut, dilaksanakan strategi sebagai berikut :

1) Strategi untuk mencapai tujuan pertama, direncanakan pembangunan prasarana jalan, jembatan dan tambatan perahu, yang akan membuka isolasi daerah, dan memudahkan masyarakat desa memasarkan hasil produksi, sehingga harga jual yang diperoleh lebih tinggi dan memudahkan memperoleh kebutuhan sehari-hari yang datang dari luar dengan harga beli yang lebih rendah.

2) Strategi untuk mencapai tujuan kedua, dengan dibangunnya prasarana air bersih dan penyehatan lingkungan akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih tinggi.

3) Strategi untuk mencapai tujuan ketiga, dapat dicapai dengan melaksanakan proyek tersebut diatas dengan sistem padat karya dengan tetap memperhatikan kaidah teknis dan penggunaan bahan lokal yang tersedia di desa tersebut. Dengan diharapkan bahwa pekerjaan konstruksi dikerjakan pada saat musim kering dimana masyarakat desa tidak bisa keladang, maka akan sangat besar manfaatnya untuk menambah pendapatan bagi masyarakat desa.

4) Strategi untuk mencapai tujuan keempat, dengan melakukan mekanisme perencanaan dari bawah (bottom up) untuk menentukan prasarana yang dibangun melalui masyawarah desa, diskusi tingkat kecamatan dalam forum UDKP, sampai Rakorbang Tk. II. Diharapkan masyarakat desa akan dapat mengembangkan diri, dan menyadarkan bahwa pembangunan merupakan upaya dari masyarakat oleh masyarakat dan hasilnya dinikmati oleh masyarakat sendiri.

5) Strategi untuk mencapai tujuan kelima, yaitu meningkatkan ketrampilan masyarakat desa yang ditempuh dengan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilaksanakan langsung oleh masyarakat dengan bantuan teknis untuk wilayah KBI dan sedangkan untuk KTI dalam pelaksanaan mewajibkan rekanan lokal kerjasama operasional dengan masyarakat desa dalam hal penyediaan bahan lokal, tenaga lokal dan sebagian pekerjaan yang sanggup dikerjakan oleh masyarakat dalam wadah LKMD. Melalui proses interaksi ini diharapkan akan terjadi proses alih teknologi dari tenaga trampil kepada masyarakat desa.

6) Strategi untuk mencapai tujuan keenam, yaitu meningkatkan pembentukan modal di desa adalah dengan memanfaatkan tenaga dan bahan lokal sebanyak mungkin, sehingga dana yang ada dapat berputar di desa.

c. Jenis Prasarana yang dibangun.

Sesuai dengan tujuan dari P3DT ini jenis prasarana yang dibangun terdiri dari :

1) Jalan dan Jembatan

2) Tambatan Perahu

3) Prasarana air bersih

4) Sanitasi/MCK (Mandi Cuci Kakus)

 

 

d. Pelaksanaan

1) Pola Pelaksanaan

Pada prinsipnya bantuan P3DT merupakan bantuan hibah ke masyarakat desa, khususnya desa tertinggal melalui wadah LKMD, untuk 2 tahun (TA. 1995/1996 dan 1996/1997) pola pelaksanaan dibagi menjadi 2 bentuk yaitu : a) Pola Swakelola Masyarakat, Pola pelaksanaan pekerjaan kontruksi dilakukan secara langsung oleh LKMD dengan bantuan teknis dari konsultan. Dalam proses pelaksanaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemeliharaan dilaksanakan secara penuh oleh LKMD yang lebih khusus lagi bahwa dana yang diluncurkan untuk pembangunan prasarana akan masuk langsung ke dalam rekening LKMD. Untuk 2 tahun (TA. 1995/1996 dan 1996/1997) pola swakelola oleh masyarakat ini telah dilaksanakan pada daerah Jawa dan Madura dan ini khusus untuk bantuan yang sumber dananya berasal dari Bank Dunia. Dengan adanya keberhasilan untuk 2 tahun pelaksanaan P3DT, untuk TA. 1997/1998 Pola Swakelola LKMD dikembangkan lebih luas, selain Pulau Jawa dan Sumatera, juga dilaksanakan juga untuk wilayah Sumatera.

b) Pola Kerjasama Operasional (KSO), dengan melihat dari kondisi geografis dan kesiapan LKMD untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura, maka pola pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan secara Kerjasama Operasional antara masyarakat desa melalui wadah LKMD dengan rekanan (kontraktor) dalam hal penyediaan tenaga lokal, bahan lokal dan sebagian pekerjaan yang sanggup dilaksanakan oleh LKMD. Akan tetapi apabila masyarakat dianggap sanggup melaksanakan semua pekerjaan kontruksi, maka dimungkinkan penyerahan semua pekerjaan konstruksi dapat diserahkan secara langsung kepada LKMD dengan bentuk KSO 100 % oleh LKMD. Pola KSO ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan pihak The Overseas Economic Coorperation Fund (OECF) Jepang.

 

 

 

2) Desa Sasaran Untuk 2 tahun (TA. 1995/1996 - TA. 1996/1997) pelaksanaan P3DT, sasaran pelaksanaan mencakup 25 propinsi di Indonesia kecuali Propinsi DKI Jaya dan Bali. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan Pihak Donor. Pendekatan desa sasaran yang merupakan desa tertinggal dibagi menjadi 2 bagian yaitu : a) Untuk bantuan pola swakelola yang merupakan pola kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia, desa sasaran merupakan desa tertinggal yang tergolong parah untuk kawasan Pulau Jawa dan Madura. Hal ini dengan pertimbangan bahwa ketersediaan prasarana di Pulau Jawa dan Madura sudah lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya.

b) Untuk bantuan pola Karjasama Operasional yang merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan OECF Jepang, desa sasaran merupakan desa tertinggal yang tergolong produktif dan potensial. Yang dimaksud dengan tertinggal produktif dan potensial adalah desa tertinggal yang mempunyai potensi untuk cepat berkembang dengan adanya bantuan prasarana ini.

Selain pendekatan diatas, sasaran desa tertinggal dilaksanakan dengan pendekatan kelompok desa yang berdekatan (cluster), hal ini dilakukan dengan pertimbangan efektifitas pemanfaatan bantuan, efesiensi bantuan teknis dan terbentuknya jaringan transportasi yang saling menyambung.

3) Alokasi Dana Alokasi dana untuk bantuan P3DT ditetapkan berdasarkan pola ASpesifik Block Grant@ (Bantuan Khusus Langsung), yang diberikan kepada langsung kepada Daerah Tingkat II melalui Surat Pengesahan Anggaran Bantuan Pembangunan (SPABP). Dasar alokasi untuk setiap desa berdasarkan wilayah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : a) Untuk daerah Jawa dan Madura (Pola Swakelola), jumlah alokasi dana sebesar Rp. 20 juta/desa.

b) Untuk daerah di luar Jawa dan Madura (Pola Kerjasama Operasional), jumlah alokasi dana per desa sebesar Rp. 130 juta/desa.

Perbedaan jumlah alokasi tersebut dengan pertimbangan bahwa untuk daerah Jawa dan Madura luas daerah dan kebutuhan prasarana yang akan dibangun lebih kecil dari pada daerah luar Jawa dan Madura.
2) Organisasi Pelaksanaan. Proyek Bantuan P3DT merupakan proyek lintas sektor yang melibatkan beberapa instansi terkait baik di pusat maupun di daerah. Untuk tingkat pusat intansi yang terkait terdiri dari : a) Deputi Bidang Regional dan Daerah, Bappenas.

b) Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.

c) Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri.

d) Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam Negeri. e) Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum.

f) Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.

g) Instansi terkait yang dipandang perlu.

Sedangkan untuk Tim Koordinasi di Tingkat Daerah terdiri dari : a) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah.

b) Kantor Pembangunan Masyarakat Desa.

c) Dinas Pekerjaan Umum

d) Dinas Kesahatan

e) Kecamatan

f) Dinas/instansi terkait yang dianggap perlu.

e. Hasil Pelaksanaan

Hasil pelaksanaan untuk Bantuan P3DT dalam 2 tahun (TA. 1995/1996 - TA. 1996/1997) telah mencapai hasil yang memuaskan hal disebabkan oleh terdapatnya suatu komunikasi yang baik antara Tim Koordinasi di Tingkat Pusat, Daerah sampai ketingkat Proyek. Hal ini juga dapat dilihat dari penilaian dari pihak donor, yaitu :

 

a) Bank Dunia, Proyek P3DT merupakan salah satu proyek prasarana desa bantuan Bank Dunia yang terbaik untuk daerah Asia Pasifik dari semua bantuan Bank Dunia. Dengan hasil ini maka kita diundang untuk mempresentasikan proyek ini kepada negara-negara yang mendapat bantuan Bank Dunia di Washington pada pertengahan tahun 1997 yang lalu.

b) OECF (Jepang), Proyek P3DT-OECF dari hasil penilaian Pihak OECF Jakarta, Proyek P3DT merupakan Proyek APerfect@ untuk Proyek-proyek yang didanai oleh OECF di Indonesia.

c) Dari hasil penilaian tersebut pihak donor telah memperpanjang pelaksanaan proyek ini selama 2 tahun (TA. 1997/1998 - 1998/1999)

d) Beberapa Negara berkembang lainnya, telah mengadakan studi banding tentang proyek P3DT di Indonesia dan umumnya mereka sangat tertarik dengan pola pelaksanaan yang telah dilakukan oleh Proyek P3DT ini dan akan mencoba menerapkan di Negera mereka masing-masing.

1) Jumlah Alokasi Dana Bantuan dan Desa Yang Ditangani

Pada Tahun Anggaran 1995/1996 tersedia anggaran sebesar Rp. 258.550.000.000 dengan perincian Bantuan P3DT Pola Swakelola sebesar Rp. 49.800.000.000 dan untuk bantuan P3DT-Pola KSO sebesar Rp. 208.650.000.000. Sedangkan untuk alokasi bantuan P3DT-Pola Swakelola menangani sebanyak 4 Propinsi di Jawa dengan jumlah desa yang ditangani sebanyak 415 desa, dan untuk P3DT-Pola KSO sebanyak 21 Propinsi dengan jumlah desa yang ditangani sebanyak 1.635 desa.

Pada Tahun Anggaran 1996/1997 terjadi peningkatan dari tahun sebelum yaitu sebesar Rp. 329.242.250.000 dengan perincian Bantuan P3DT Pola Swakelola sebesar Rp. 97.800.000.000 dan untuk bantuan P3DT-Pola KSO sebesar Rp. 231.442.250.000. Sedangkan untuk alokasi bantuan P3DT-Pola Swakelola menangani sebanyak 4 Propinsi di Jawa dengan jumlah desa yang ditangani sebanyak 815 desa, dan untuk P3DT-Pola KSO sebanyak 21 Propinsi dengan jumlah desa yang ditangani sebanyak 1.812 desa. Secara terinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 11. Alokasi Dana dan Jumlah Desa Bantuan P3DT TA. 1995/1996 - 1996/1997
 
  
Pola Pelaksanaan
Sumber 
Dana
Jumlah
Propinsi
Jumlah Desa
Total Alokasi Dana (Ribuan)
TA. 1995/96     

 

  

 

  

 

  

 

  

Swakelola 

KSO

Bank Dunia 

OECF

4 Propinsi 

21 Propinsi

415 desa 

1.635 desa

Rp. 49.800.000. 

Rp. 208.650.000

Subtotal     

25 Propinsi

2.050 desa Rp. 258.550.000
TA. 1996/97     

 

  

 

  

 

  

 

  

Swakelola 

KSO

Bank Dunia 

OECF

4 Propinsi 

21 Propinsi

815 desa 

1.812 desa

Rp. 97.800.000. 

Rp. 231.442.250

Subtotal     

25 Propinsi

2.627 desa Rp. 329.242.250
Grand Total     

25 Propinsi

4.677 desa  Rp. 587.792.250
  Dengan demikian dari pelaksanaan Program P3DT selama 2 tahun secara keseluruhan telah ditangani 4.677 desa tertinggal. Ditinjau dari penyebaran lokasi desa di masing-masing Kawasan (KBI dan KTI), pada TA 1995/1996 sebanyak 1.491 desa atau + 73% terletak di Kawasan Barat Indonesia, sedangkan pada TA 1996/1997 hampir 55% yaitu sebesar 1.445 desa terletak di Kawasan Timur Indonesia. 2) Prasarana Yang Telah Dibangun Secara keseluruhan dalam rangka pelaksanaan Program P3DT selama 2 tahun telah dibangun prasarana Jalan, Jembatan, Tambatan Perahu. Instalasi Air Bersih dan MCK serta penyebaran desa sesuai jenis prasarana yang dibangun secara nasional terlihat pada Tabel berikut : Tabel 12 : Jumlah lokasi Desa sesuai masing-masing Prasarana yang telah dibangun  
  
No.
Prasarana
Program
Total
Phase I
Desa
Lokasi
TA 1995/1996
TA 1996/1997
1. 

2. 

3. 

4. 

5.

Jalan  

Jembatan 

T. Perahu 

Air Bersih 

MCK

6.313,06 km
18.144 m
309 unit
5.252 unit
1.908 unit
7.354.64 km
26.593 m
632 unit
6.303 unit
3.253unit 
13.667,70 km 44.737 m
941 unit
11.555 unit
5.161 unit
3.718
1.832
533
1.763
895
  Ditinjau dari segi jumlah pembiayaan dari masing-masing jenis prasarana, menunjukkan bahwa untuk prasarana jalan mempunyai porsi pembiayaan yang paling besar baik pada TA 1995/1996 maupun pada TA 1996/1997, sebagaimana dapat di lihat pada daftar berikut : Tabel 13 : Total Pembiayaan masing-masing Jenis Prasarana

( x Rp. 1000)
  
Prasarana
TA 1995/1996
TA 1996/1997
Total Biaya
%
Total Biaya
%
Jalan  

Jembatan 

Tambatan Perahu 

Air Bersih 

MCK/Sanitasi

149.779.202
23.402.502
4.755.565
16.410.673
6.846.197
74,45
11,63
2,36
8,16
3,40
150.734.196
30.757.756
8.653.613
34.159.044
13.352.289
63,43
12,94
3,64
14,37
5,62
Total
201.194.139
100,00
237.656.998
100,00
 

f. Evaluasi Sampai sejauh mana hasil-hasil yang diperoleh dari pelaksanaan Program Bantuan P3DT-OECF Phase I dikaitkan dengan tujuan program dapat diuraikan seperti di bawah ini : a) Untuk mencapai tujuan pertama, yaitu meningkatkan akses pemasaran dan mengurangi isolasi daerah pada TA 1996/1997, telah dibangun prasarana perhubungan meliputi 7.354,64 km Jalan, 26.593 m Jembatan dan 632 unit Tambatan Perahu, hasil fisik prasarana perhubungan lebih besar dari rencana. Biaya yang digunakan untuk membangun prasarana perhubungan di atas meliputi hampir 80,00% dari total nilai fisik, yaitu Jalan 63,43%, Jembatan 12,94% dan Tambatan Perahu 3,64%, sedangkan pada TA 1995/1996, telah dibangun 6.313,06 km Jalan, 18.144 m Jembatan, 309 unit Tambatan Perahu.

Dengan demikian selama 2 tahun telah berhasil dibangun prasarana perhubungan baik jalan baru maupun peningkatan jalan sebsar 13.667,70 km Jalan, 44.737 m Jembatan, dan 941 unit Tambatan Perahu.

Dengan dibangunnya prasarana perhubungan tersebut desa-desa yang semula terisolir terpencil dapat dihubungkan dengan pusat pertumbuhan terdekat, sehingga derajat isolasi menjadi kecil.

2) Untuk mencapai tujuan kedua, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada TA 1996/1997, telah dibangun 6.303 unit instalasi air bersih dan 3.253 unit prasarana Mandi, Cuci, Kakus (MCK). Dengan biaya yang digunakan untuk pembangunannya meliputi 20 % dari total nilai kontrak fisik.

Sedangkan pada TA 1995/1996 telah dibangun 5.252 unit Air Bersih dan 1.908 MCK. Dengan demikian selama 2 tahaun telah berhasil dibangun 11.555 unit instalasi Air Bersih dan 5.161 unit MCK. Prasarana Air Bersih dan MCK telah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa setempat. Kebiasaan masyarakat untuk minum air yang terkontaminasi menjadi lebih berkurang, sehingga penyakit menular yang disebabkan kurang air dan buruknya kesehatan lingkungan dapat dihindarkan. Hal tersebut berarti dapat meningkatkan derajat kesehatan lingkungan

3) Untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu menciptakan lapangan kerja dapat diinformasikan bahwa pada TA 1996/1997 dalam pelaksanaan fisik proyek telah diperoleh data sebesar 14.604.529 HOK dari tenaga kerja LKMD. Angka ini sedikit lebih besar dari TA 1995/1996, yang hanya sebesar 9.248.617 HOK.

4) Untuk mencapai tujuan keempat, yaitu meningkatkan kelembagaan di desa pada desa-desa yang memperoleh bantuan program P3DT telah dilaksanakan proses perencanaan dari bawah, mulai dari musyawarah di tingkat desa untuk menampung aspirasi masyarakat, pembahasan melalui diskusi UDKP di tingkat kecamatan untuk penyerasian dengan pembangunan wilayah kecamatan dan pada akhirnya verifikasi teknis pada tingkat kabupaten. Melalui sistem perencanaan tersebut di atas, dapat mengembangkan dan meningkatkan kelembagaan di desa dan pemerintah daerah. Selain itu upaya peningkatan kelembagaan juga dilaksanakan dengan mengadakan pelatihan pengadministrasi proyek dan penyusunan laporan.

Upaya peningkatan kelembagaan juga telah terjadi pada masyarakat terutama pada Kontraktor Golongan Ekonomi Lemah (GEL) yang merupakan kontraktor setempat. Dari total 1.363 kontrak proyek P3DT Pola KSO TA 1996/1997, sejumlah 1.011 atau sekitar 74,17% ditangani oleh Kontraktor Golongan Ekonomi Lemah/GEL (Kelas C2), sebanyak 262 atau sekitar 19,22% ditangani oleh Kontraktor Kecil (Kelas C), sebanyak 86 atau 6,31% ditangani oleh Kontraktor Menengah (Kelas B) sedang yang ditangani oleh Kontraktor Kuat (Kelas A) hanya 4 buah atau sekitar 0,29%. Pada TA 1995/1996, dari jumlah kontrak 1.305 dilaksanakan oleh 1.177 kontraktor, yaitu Golongan C sebesar 954 (81,05 %), Golongan B sebesar 176 (14,95 %), dan Golongan A sebesar 47 kontraktor (4,00 %).

5) Untuk mencapai tujuan kelima yaitu untuk pola Swakelola terjadinya peningkatan ketrampilan masyarakat, pembangunan proyek dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat desa yang disatukan dalam wadah LKMD dan dilaksanakan secara padat karya dimana LKMD bertanggungjawab dalam pelaaksanaan proyek tersebut. Pada awal pelaksanaan konstruksi fisik, konsultan pendamping mengadakan pelatihan kepada masyarakat cara membangunan prasarana fisik yang benar dan sesuai dengan spesifikasi teknis atau disebut dengan sistem "Trial". Selanjutnya masyarakat dapat melanjutkan pekerjaan sesuai dengan contoh yang telah diberikan dibawah bimbingan Konsultan Pendamping dan Pemimpin Proyek. Sebelum masa akhir proyek dilaksanakan juga pelatihan pemeliharaan prasarana yang telah dibangun. Hal ini untuk menjaga pemanfaatan prasarana yang telah dibangun agar dapat bertahan lama. Pelaksanaan konstruksi yang dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat telah memberikan tambahan pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat desa.

Sedangkan untuk Pola KSO peningkatan ketrampilan masyarakat dapat diinformasikan bahwa diwajibkan bekerja sama dengan LKMD melalui pola Kerja Sama Operasional (KSO). Dari 1.812 desa pada TA 1996/1997 dan 1.635 desa pada TA 1995/1996 yang memperoleh bantuan proyek, sebagian besar desa mengadakan KSO. Melalui KSO tersebut para kontraktor dengan tenaga terampilnya dapat memberi pelatihan kerja melalui praktek kepada masyarakat desa setempat.

6) Dalam rangka mencapai tujuan keenam yaitu pembentukan modal di desa, dapat diinformasikan bahwa pada TA 1996/1997 sebesar Rp. 41.916.603.454 atau 12,7% dari dana digunakan untuk upah, dan Rp. 77.189.285.014 atau 27,87 % digunakan untuk pembelian bahan lokal yang dilaksanakan oleh LKMD. Dengan demikian jumlah dana tersebut meliputi Rp. 119.105.888.468 atau rata-rata Rp. 45.339.128 atau 36.175 % tiap desa. Jumlah dana untuk upah dan pembelian bahan lokal tersebut akan berputar di desa, dan hal ini dapat meningkatkan modal di desa.

g. Pelaksanaan Studi Evaluasi dan Monitoring Dampak

1) Pola Swakelola

a) Latar Belakang Studi Studi evaluasi dan monitoring dampak P3DT Pola Swakelola bertujuan untuk memantau baik pelaksanaan maupun dampak program. Studi ini dilakukan oleh CARE Indonesia dengan pendanaan dari bantuan Bank Dunia. Kegiatan studi dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan dari bulan November 1995 sampai dengan bulan Februari 1996, sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada bulan Oktober 1996 sampai dengan bulan Februari 1997. Pelaksanaan studi ini dilakukan dengan pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh pada desa-desa penerima P3DT dan desa-desa non P3DT.

Pada tahap pertama, sampel studi adalah 86 desa P3DT dan 46 desa non P3DT sebagai pembanding. Sejumlah 1.724 responden dari sasaran sebanyak 1.750 orang yang mewakili desa miskin telah diwawancarai. Di samping itu, sebanyak 6 (enam) desa di setiap propinsi di pilih sebagai lokasi untuk melakukan In Depth Qualitative Study.

Pada tahap kedua, sampel studi bertambah menjadi 170 desa P3DT dan 47 desa non P3DT. Jumlah responden yang diwawancarai mencapai 3.870 orang. Namun demikian hanya 3.773 responden yang memberikan data lengkap dan diolah dalam data base. Data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan metode using in depth interviews dan focus group discussions. Sebanyak 30 desa P3DT dipilih sebagai lokasi untuk memperoleh data kualitatif. Desa-desa tersebut dipilih oleh Sekretariat P3DT dengan menggunakan metode random sampling.

b) Hasil Pelaksanaan Studi

i) Karakteristik Desa

Temuan dari studi menggambarkan keadaan desa dan responden di mana secara umum karakteristik desa P3DT dan desa non P3DT identik. Kedua tipe tersebut memiliki karakteristik kemiskinan. Akses terhadap prasarana umum juga identik dalam hal prasarana yang telah ada dan prasarana yang sedang dibangun.

Walaupun kedua tipe desa tergolong tertinggal parah, sebagian besar responden menyatakan bahwa desa mereka memiliki akses terhadap jalan dan sekolah dasar. Setiap desa memiliki Posyandu di mana layanan kesehatan dapat diberikan kepada masyarakat. Dalam hal pasar, setiap desa memiliki pasar tradisional. Namun, kebanyakan desa tidak memiliki pasar formal yang berupa bangunan permanen di mana masyarakat melakukan kegiatan jual beli.

Namun demikian, prasarana yang ada tersebut tidak dalam kondisi prima. Sekolah dan pasar seringkali tidak terpelihara dengan baik dan kekurangan kebutuhan dasar. Misalnya fasilitas pasar dan bahan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup bagi masyarakat, khususnya bahan non primer. Demikian pula jalan di desa, kebanyakan tidak beraspal dan dilapisi oleh tanah saja. Jalan tersebut berlumpur pada saat musim hujan dan sempit, sehingga hanya dapat dilalui oleh sepeda atau sepeda motor. Fasilitas kesehatan (Puskesmas, Posyandu, dan Pustu) biasanya dilayani oleh paramedis dan mantri atau bidan desa.

 

Kebanyakan responden (lebih kurang 70 persen) mempunyai lahan dengan luas kurang dari 0,5 hektar. Rata-rata pendapatan per tahun dari usaha utama responden juga tergolong rendah. Sekitar 67 persen responden berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000,-. Umumnya responden juga berpendidikan rendah dengan sebagian besar responden hanya bersekolah sampai tingkat SD. Lebih kurang 59 persen responden adalah petani.

ii) Pelaksanaan Kegiatan Program Dalam hal pelaksanaan kegiatan P3DT, hasil studi menunjukkan beberapa sebagai berikut: (1) Penyerapan tenaga kerja Dalam pelaksanaan kegiatan, pada umumnya tenaga kerja yang terlibat dalam P3DT berasal dari desa setempat. Hanya sebagian kecil tenaga kerja berasal dari luar desa sebagai akibat pelaksanaan program yang bersamaan dengan kegiatan masyarakat bercocok tanam. Sebab lain tidak ada tenaga kerja terampil di desa. Sekitar 76 persen responden menyatakan bahwa tenaga kerja yang terlibat adalah masyarakat miskin dan sekitar 24 persen menyatakan bahwa tenaga kerja yang terlibat bukan merupakan masyarakat miskin. (2) Peranserta masyarakat Di semua desa P3DT, masyarakat berperanserta dalam pelaksanaan kegiatan. Kebanyakan, masyarakat berperan sebagai tenaga kerja. Peranserta masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan sudah mulai terlihat. Pada beberapa kasus menunjukkan bahwa proses manajemen proyek masih bersifat top down, misalnya dalam pembentukan Tim Pelaksana, dan pemilihan jenis prasarana yang akan dibangun. Namun demikian, temuan ini tidak secara langsung menunjukkan adanya kekeliruan dalam pelaksanaan kegiatan P3DT. Secara umum, tujuan P3DT yang berupa; a) bermanfaat bagi masyarakat miskin, b) prasarana yang terbangun dengan kualitas yang baik, serta c) terjadi peningkatan pendapatan, telah tercapai. (3) Manfaat langsung kepada masyarakat Berdasarkan temuan di lapangan, hasil studi menunjukkan bahwa P3DT memberikan manfaat langsung kepada tenaga kerja yang terlibat dalam bentuk uang. Banyak tenaga kerja juga menyatakan bahwa mereka memperoleh manfaat lain yaitu peningkatan keterampilan membangun prasarana. Hasil studi menunjukkan bahwa P3DT juga memberikan manfaat kepada masyarakat di luar tenaga kerja yang terlibat maupun kepada seluruh masyarakat desa. Manfaat tersebut antara lain adalah dengan adanya prasarana jalan yang dibangun telah terjadi peningkatan frekuensi angkutan yang berperan dalam penurunan biaya angkutan dan pembukaan isolasi desa serta peningkatan derajat kesehatan melalui adanya pembangunan unit prasarana air bersih dan MCK. (4) Peranserta wanita belum optimal Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat wanita yang berperanserta dalam P3DT. Peranserta mereka nampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan keterlibatan dalam program atau proyek non P3DT. Kenaikan tingkat partisipasi wanita ini disebabkan oleh upaya staf pelaksana program untuk melibatkan mereka. Namun, secara umum peranserta mereka masih belum optimal.
2) Pola Kerjasama Operasional a) Latar Belakang Studi Studi evaluasi dan monitoring dampak bertujuan untuk menyiapkan data dan informasi dalam memperlihatkan manfaat dari P3DT Pola Kerjasama Opreasional dengan tujuan memperbaiki kebijakan pemerintah dan formulasi program untuk pengembangan prasarana desa di Indonesia di masa mendatang, lewat pengukuran realisasi manfaat program dan mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan.

 

 

b) Hasil Pelaksanaan Studi Sasaran 125 desa sampel yang diterima untuk pelaksanaan program tahun anggaran 1995/96 memperlihatkan manfaat program dari berbagai aspek. Berikut ini adalah ringkasan temuan awal dari survai sampel dimana yang tampak bukan hanya manfaat, tapi juga beberapa kekurangan dari pelaksanaan program tersebut. i) Perubahan Konsidi Prasarana Di antara 125 desa sampel yang diterima, 95 persen adalah jalan, 48 persen jembatan, 18 persen tambatan perahu, 32 persen MCK, dan 41 persen fasilitas air bersih. Dengan membandingkan inventarisasi prasarana desa antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program, ditemukan bahwa P3DT membuat kontribusi yang berarti bagi kondisi prasarana desa. Prasarana meningkat seperti: 157 km jalan desa yang cukup lebar untuk dilewati oleh kendaraan beroda empat, 45 unit jembatan, 46 unit tambatan perahu, 762 unit fasilitas air bersih dan 103 unit MCK.

Dari seluruh fungsi dan kualitas yang terlihat dari fasilitas prasarana yang ada dengan nilai memuaskan sampai sangat bagus sekitar 85 persen dan sekitar 80 persen memberikan nilai yang sama untuk fungsinya, sementara fasilitas tambatan perahu secara keseluruhan memberikan nilai terbaik, persentase desa yang besar adalah pada fasilitas air bersih dan jalan.

Jalan desa yang bukan-tanah meningkat hampir tiga kali setelah pelaksanaan P3DT. Apabila kita ambil kondisi fungsional dan fisik yang rendah dari beberapa jalan yang bukan-tanah ke dalam pertimbangan, peningkatan total panjang jalan untuk semua jenis jalan yang dilewati dengan kendaraan roda empat adalah jauh lebih kecil, yaitu hanya dua kali. Namun, panjang jalan tanah desa setelah pelaksanaan program sebesar 46 persen dari total panjang jalan dan 35 persen tidak bisa dilewati pada musim hujan. Di sini jelas menunjukkan bahwa pentingnya perawatan dan pemeliharaan prasarana tersebut di masa yang akan datang.

Tambatan perahu dengan kondisi baik dan memuaskan meningkat 24 persen. Semua peningkatan ini sehubungan dengan konstruksi baru. Untuk beberapa alasan, jumlah tambatan perahu yang jelek dan sangat jelek tidak menurun, tetapi meningkat sebesar 9 persen. Dalam fungsinya, jumlah fungsi tambatan perahu dengan kategori memuaskan meningkat 2 kali.

Jumlah MCK dengan kondisi baik dan memuaskan meningkat 3,2 kali. Pilihan terhadap fasilitas MCK baru bisa dimengerti dan hampir 77 persen fasilitas MCK sebelum pelaksanaan program dikategorikan jelek atau sangat jelek. Setelah pelaksanaan program jumlah yang tercatat sekitar 51 persen dari total fasilitas MCK kualitas konstruksinya memadai, dan berfungsi baik atau sangat baik. Di lain pihak, semua MCK dengan kondisi yang jelek dan tidak berfungsi karena tidak di rehab ataupun dibangun kembali. Terdapat dua desa yang memilih merehabilitasi MCK yang ada.

Fasilitas air bersih menunjukkan kualitas yang baik dan berfungsi dengan baik. Setelah pelaksanaan program hanya 18 persen dari fasilitas yang dianggap tidak bagus atau sangat jelek dan hanya 10 persen tidak berfungsi atau tidak berfungsi dengan baik. Jumlah fasilitas air bersih dengan kondisi baik dan memuaskan meningkat menjadi 53 persen, sementara kondisi tidak baik dan sangat jelek menurun menjadi 32 persen. Perubahan aspek fungsional memperlihatkan kemiripan akan tetapi rata-rata dibandingkan dengan perubahan kondisi fisik. Jumlah fasilitas air bersih dengan fungsi baik atau memuaskan meningkat hingga 30 persen, dan fasilitas yang tidak berfungsi dengan baik atau tidak berfungsi menurun hingga 13 persen.

ii) Manfaat Pembangunan Prasarana

(1) Perbaikan jalan yang dapat dilalui

Perbaikan jalan yang bisa dilalui di temukan di beberapa desa sampel. Dari 19 desa, atau 15 persen dari sampel desa, memiliki akses jalan yang cukup lebar untuk dilewati kendaraan beroda empat. Jumlah desa yang bisa dilewati sepanjang tahun meningkat menjadi 19 desa dan 25 persen aksesnya meningkat. Rata-rata akses bulan per tahun meningkat menjadi 1,8 bulan per desa. Penurunan waktu perjalanan menurun menjadi 21 menit atau 23 persen pada musim kemarau dan 45 menit atau 28 persen pada musim hujan.

Sementara itu temuan-temuan di atas mengemukakan bahwa akses yang bisa dilewati meningkat di beberapa desa. Walaupun program ini bertujuan untuk mengurangi keterisolasian desa-desa tertinggal, akan tetapi sekitar 22 persen dari desa sampel menunjukkan melaporkan bahwa mudah dan sangat mudah pergi ke Ibu Kota Kecamatan (IKK) terjadi sebelum pelaksanaan program, dan hanya beberapa desa saja yang melaporkan bahwa tidak ada peningkatan pada akses juga penurunan pada waktu perjalanan ke IKK. Lebih dari itu akses jalan utama pada 31 desa, atau 25 persen dari sampel desa kesemuanya meningkat, tercatat pula bahwa hubungan dengan jalan lokal tidak begitu bagus dan tidak selalu bisa dilewati kendaraan roda empat.

(2) Meningkatnya jalan yang bisa dilewati

Hasil dari meningkatnya jalan yang bisa dilalui, beberapa desa menikmati manfaat tersebut antara lain kenyamanan dan frekuensi angkutan umum, menurunnya ongkos angkutan penumpang dan barang dan perubahan daya jual dan beli. Sekitar 41 persen dan 26 persen tercatat bahwa ongkos transportasi umum menurun dan meningkatnya frekuensi angkutan umum. Sekitar 60 persen desa menunjukkan bahwa kenyamanan transportasi umum dirasakan setelah adanya pelaksanaan program.

Penurunan biaya transportasi hasil produksi ke pasar setempat dilaporkan hampir separuh dari desa-desa; sekitar 40 persen dan 45 persen desa tercatat menurun dalam hal waktu bepergian dan sekitar 42 persen terjadi penurunan biaya transportasi barang ke pasar setempat. Meningkatnya harga jual, surplus produksi dan menurunnya harga beli merupakan masukan yang dilaporkan sekitar 40 persen dan 35 persen dari desa sampel.

 

 

(3) Meningkatnya fasilitas air bersih dan sanitasi Dalam perkiraan hampir mendekati 2.000 KK di 52 desa, atau mendekati 7 persen dari jumlah KK pada 125 desa sampel, pelaksanaan program telah menyediakan jalan menuju tempat air bersih. Menurut hasil studi, penggunaan sungai sebagai sumber untuk air minum dan memasak telah dilakukan sebanyak 40 persen KK sebelum pelaksanaan program, hal tersebut sedikit menurun antara 7- 8 titik. Waktu perjalanan mengambil air menurun 29 persen untuk desa yang menerima fasilitas air bersih; penurunan untuk pulang pergi rata-rata dari 22 menit menjadi 13 menit. iii) Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Desa (1) Organisasi LKMD Semua organisasi LKMD pada desa sampel telah memiliki pengurus inti, dan hampir 90 persen memiliki pengurus inti dan seksi sebelum adanya P3DT. Umumnya LKMD memiliki beberapa pengalaman telah terlibat dalam berbagai pelaksanaan program pembangunan prasarana di desa, hanya sekitar 6 persen dari LKMD memperoleh pengalaman pertama lewat pelaksanaan P3DT. (2) Partisipasi dari LKMD Survai desa sampel tidak mengumpulkan informasi terhadap keterlibatan LKMD dalam tingkat perencanaan, akan tetapi survai teknis (post construction) dilakukan secara terpisah di 153 desa pada 18 provinsi. Hasil survai menunjukkan bahwa 86 persen dari desa terlibat dalam proses perencanaan.

Survai teknis (post construction) menemukan sekitar 85 persen dari partisipasi desa pada pekerjaan konstruksi. Di lain pihak monitoring program memperlihatkan bahwa 15 persen dari nilai kontrak dilaksanakan oleh LKMD, dengan menyediakan tenaga kerja dan material lokal yang ada di desanya.

 

(3) Dampak kegiatan dan kapasitas LKMD Kegiatan LKMD diberbagai seksi tercatat telah meningkat sekitar 20 persen setelah pelaksanaan P3DT, walaupun kegiatan P3DT terbatas pada pembangunan fisik fasilitas prasarana desa. Hasil interpretasi survai menghendaki informasi lebih rinci dari studi ini seperti bagaimana tanggapan penduduk desa terhadap pelaksanaan program dan bagaimana LKMD bisa terangsang lewat proses tersebut.

Berdasarkan pada evaluasi, desa-desa umumnya mampu melaksanakan rapat, namun tidak mampu melaksanakan administrasi umum LKMD. Antara 19 persen dan 30 persen dari desa sampel menunjukkan bahwa berbagai pengembangan berbagai kapasitas tugas LKMD meningkat setelah adanya P3DT. Porsi LKMD dengan kapasitas yang terbatas menurun dari 15 persen sampai 28 persen, hingga menjadi 4 persen sampai 13 persen.

(4) Dampak Pengembangan Prasarana LKMD

Pelaksanaan P3DT sepertinya telah membuat dampak yang penting terhadap kemampuan dan sikap masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan prasarana. Sesuai dengan evaluasi, sebanyak 60 persen - 65 persen desa sample telah berpartisipasi dalam pengembangan prasarana sebelum adanya P3DT. Setelah adanya P3DT, tingkat partisipasi, keinginan memberikan kontribusi serta antusiasme yang timbul untuk mengembangkan prasarana meningkat 17 persen pada desa sampel.

Antara 22 persen sampai 27 persen dari desa menunjukkan bahwa kemampuan mereka terhadap perawatan dan pengoperasian meningkat setelah adanya P3DT. Hanya sekitar 38 persen desa yang memiliki kemampuan teknis yang cukup, sementara sekitar 14 persen desa tercatat bahwa mempunyai kapasitas teknis terbatas untuk operasional dan perawatan. Sebagai referensi, survai teknis di 153 desa memperlihatkan bahwa 24 persen dari desa telah mempunyai inisiatif (bergotong royong) dan mampu untuk pengoperasian dan perawatan pekerjaan, sementara itu sekitar 66 persen sudah siap akan tetapi kemampuan kurang cukup, dan sekitar 10 persen belum mampu dan kurang siap.

iv) Manfaat Dari Jenis Prasarana Yang Dibangun Jumlah penduduk yang mendapatkan manfaat dengan adanya akses jalan yang dibangun melalui P3DT sebanyak 140.000 atau kira-kira 96 persen dari jumlah penduduk yang menerima bantuan P3DT. Sekitar 64.000 orang menerima manfaat dengan adanya jembatan, sedangkan 34.000 menerima manfaat dengan adanya tambatan perahu. Fasilitas air bersih dan fasilitas MCK yang dibangun bermanfaat bagi 60.500 dan 41.000 orang. v) Penilaian Manfaat Terhadap Hasil Yang Dicapai Dalam survai sample hampir semua sampel desa menunjukkan bahwa pelaksanaan P3DT membantu mengurangi keterisolasian desa. Sekitar 43 dari 125 responden mengatakan bahwa sangat banyak membantu. Sekitar 95 persen dari jawaban responden mengatakan bahwa kontribusi P3DT dalam beberapa hal ialah untuk meningkatkan kondisi kesehatan di desanya.

Sementara itu, 6 sampai 8 desa tidak menjawab positif terhadap prestasi dari dua tujuan utama, atau lebih dari dua kali jumlah atau 18 desa tidak menjawab secara positif apakah P3DT membantu atau tidak menciptakan lapangan pekerjaan. Meskipun demikian,sekitar 61 persen desa atau 76 desa menjawab positif bahwa P3DT membantu menciptakan lapangan pekerjaan.

Secara keseluruhan, tingkat kepuasan semua desa sampel adalah baik untuk 125 desa sampel, sedangkan untuk 29 desa sangat memuaskan. Sebagian dari 68 persen, atau 85 desa menjawab memuaskan terhadap pelaksanaan P3DT, dan hanya sekitar 9 persen, atau 11 desa menjawab tidak memuaskan terhadap hasil dari P3DT di desanya.

h. Masalah dan Hambatan

Sekalipun pelaksanaan Program Bantuan P3DT telah dapat diselesaikan sesuai target waktu yang telah ditentukan, namun dalam perjalanannya menghadapi masalah dan hambatan yang patut dicatat untuk bahan evaluasi dan pertimbangan serta bila dipandang perlu diadakan tindakan antisipasi khususnya dalam rangka pelaksanaan program P3DT di tahun-tahun mendatang, antara lain :

1) Keterlambatan pencairan dana PAP maupun porsi penggunaannya oleh instansi-instansi yang terlibat masih merupakan hambatan dalam rangka pelaksanaan kegiatan penyiapan masyarakat lebih awal, di samping juga mempengaruhi kelancaran pelaksanaan kegiatan Tim Koordinasi P3DT di daerah di dalam melakukan peran serta masyarakat dan pembinaan serta pemantauan.

2) Ada sementara Pimpro P3DT yang karena kualifikasi dan pengalamannya di bawah persyaratan yang semestinya di samping perangkapan jabatan, mengakibatkan hambatan di dalam kelancaran proses pelaksanaan program sejak dari tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan fisiknya.

3) Kurangnya pemahaman dari Pimpro tentang sistem penyaluran dan penarikan dana, sehingga mengakibatkan terjadi kesalahan prosedur yang menghambat penyaluran dana kepada masyarakat sebagai pelaksana pekerjaan.

4) Karena keinginan masyarakat yang sangat besar untuk mempercepat pembukaan isolasi daerah, pada daerah yang sangat luas dan pola pemukiman terpencar-pencar, maka masyarakat desa lebih memperhatikan aspek kuantitas daripada kualitas dengan membangun jalan yang panjang, sehingga harga satuan pembangunan sangat kecil. Hal ini akan membawa dampak pada kebutuhan pemeliharaan yang cukup besar. Secara fungsional pemilihan prasarana tersebut sangat tepat tetapi mungkin tidak dapat dimanfaatkan sepanjang tahun, terutama pada waktu penghujan.

5) Pada beberapa tempat karena ketergesa-gesaan pemilihan prasarana masih ada yang kurang tepat, prasarana yang dibangun hanya untuk melayani penduduk dalam desa, hal ini dapat memperkecil dampak ekonomi jangka panjang.

6) Kemampuan masyarakat untuk memelihara prasarana yang bersifat umum yang pemanfaatannya bukan hanya untuk desa yang bersangkutan seperti jalan dan jembatan masih sangat kecil sekali.

 

i. Saran-Saran

1) Pada masa yang akan datang perlu diupayakan perencanaan prasarana yang lebih tepat, kualitas hasil lebih baik dan upaya-upaya memperbesar pemberdayaan masyarakat agar hasil prasarana lebih lestari.

2) Khusus untuk proyek jalan yang pemanfaatnya bukan hanya oleh penduduk lokal perlu dipikirkan peningkatan prasarana tersebut melalui program lainnya dan pemeliharaan perlu ada sumber dana, sehingga jalan tersebut betul dapat berfungsi sebagai pengembangan wilayah.

3) Mengingat pentingnya upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat, maka upaya penyuluhan kepada masyarakat perlu dilaksanakan lebih dini. Untuk tersedianya dana PAP yang tepat waktu sangat mendesak.

4) Untuk mengatasi permasalahan lemahnya pemahaman aparat adalah dengan melakukan sosialisasi dan desiminasi kepada jajaran aparat mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Sedangkan untuk memperkecil kemungkinan penyimpangan penggunaan dana oleh oknum aparat adalah dengan melakukan pemantauan dan evaluasi serta pengawasan baik dari intern aparat (Irjen), konsultan maupun laporan masyarakat dan media massa.

Selain itu berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan aparat adalah dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan meningkatkan kinerja organisasi/kelembagaan. Yaitu dengan cara memberikan pelatihan atau forum sejenis untuk menambah dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan aparat. Sedangkan untuk memperkuat kinerja organisasi diberikan fasilitas dan dukungan serta penyempurnaan mekanisme perencanaan dan pelaporan di semua tingkatan.

5) Seperti diketahui bahwa dalam pelaksanaan P3DT masyarakat desa ikut dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharaan. Sehingga hal ini berbeda dengan program-program lainnya yang biasanya mereka hanya bisa melihat dan menikmati hasil pembangunan. Melihat kenyataan bahwa secara umum sikap masyarakat terhadap program P3DT sangat baik, partisipatif dan antusias maka proses sosialisasi kepada masyarakat terus ditingkatkan dengan mekanisme dan pendekatan sampai ke tingkat desa. Upaya-upaya yang dilakukan adalah dengan meoptimalkan peran aparat di tingkat kecamatan dan kabupaten untuk memberikan pemahaman dan pengertian tentang P3DT. Dengan sistem ini rasa memiliki terhadap prasarana yang dibangun akan tumbuh sehingga lebih memacu untuk bertanggungjawab, merawat dan melestarikan prasarana tersebut. Segi positif lain yang timbul dari program P3DT adalah bahwa program ini mampu menumbuhkan sikap partisipatif dan ingin berperan aktif dalam pembangunan yang diwujudkan dalam kerelaan mengorbankan tenaga dan harta kekayaan untuk melaksanakan pembangunan yang hasilnya dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Selain itu telah menumbuhkan rasa kesetiakawanan dimana timbul rasa rela berkorban yang dapat mengurangi kesenjangan sosial dalam masyarakat.

6) Untuk mengatasi kondisi geografis tersebut langkah-langkah yang ditempuh adalah dengan mengambil kebijaksanaan pemberian dana yang disesuaikan dengan kondisi daerah.

7) Upaya untuk mengatasi permasalahan belum optimalnya konsultan selama ini telah dilakukan dengan meningkatkan intensitas rapat koordinasi antara konsultan daerah dengan konsultan pusat, konsultan daerah dengan aparat daerah, dan berbagai pelatihan tambahan yang bersifat meningkatkan kemampuan dan keahlian konsultan. Selain itu untuk meningkatkan interaksi secara inten antara konsultan dengan aparat di daerah maka diwajibkan bagi konsultan untuk berkantor di kantor Bappeda. Sehingga selain koordinasinya mudah juga mempercepat setiap penyelesaian yang timbul dalam pelaksanaan P3DT.

8) Untuk mengatasi permasalahan keterlambatan dan kelemahan pelaporan, maka berbagai penyempurnaan telah dilakukan yaitu antara lain dengan menyempurnakan format laporan yang sederhana dan mudah namun dapat memberikan informasi yang seluas-luasnya dari tingkat paling rendah (desa) sampai ke tingkat Pusat. Sedangkan untuk mempercepat laporan, maka khusus untuk jalur konsultan mulai tahun 1997/98 laporan disampaikan melalui jalur internet atau modem dari tingkat propinsi sampai ke tingkat pusat. Dan untuk tahun mendatang akan ditingkatkan mulai dari kabupaten.

3. Sistem Informasi Manajemen (SIM).

Sistem Informasi Manajemen (SIM) merupakan komponen yang menunjang komponen P3DT pada khususnya dan program IDT pada umumnya. Dalam upaya memperlancar operasionalisasi SIM ini telah dibentuk suatu tim yang tergabung dalam Pusat Informasi IDT atau IDT Information Centre (IDT-IC).

Tugas Tim IDT-IC terdiri dari 2 (dua) hal pokok, yaitu : a. Sebagai Pusat Informasi Program IDT

Program IDT adalah merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang merupakan Gerakan Nasional. Sesuai dengan Instruksi Presiden No. 5 tahun 1993 bahwa dalam rangka penanggulangan kemiskinan perlu melibatkan semua unsur yang ada dan harus didukung oleh semua intansi terkait maupun dari pihak swasta, serta diharapkan semua program pemerintah mulai dari program sektoral maupun regional diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan.

Sebagai gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang melibatkan instansi terkait maupun dari pihak swasta, perlu dibentuk suatu wadah yang akan menyajikan semua informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan khususnya program IDT.

 

Bentuk penyajian dan tampilan Pusat Informasi Program IDT terdiri dari:

1) Laporan berkala program IDT yang meliputi laporan bulanan dan laporan tahunan.

2) Publikasi media cetak program IDT berkala (bulanan) yang meliputi Info Bangun Desa dan Buletin Pembangunan Perdesaan.

3) Publikasi media cetak program IDT yang bersifat temporer seperti Buku 3 Tahun Program IDT, Buku 3 Tahun P3DT, Booklet P3DT.

4) Publikasi media audio visual yang meliputi; (i) Dokumentasi Video P3DT untuk keperluan publikasi P3DT secara umum, dan (ii) Dokumentasi Video P3DT untuk keperluan diseminasi P3DT secara lengkap.

5) Dokumentasi foto P3DT per propinsi selama 3 (tiga) tahun anggaran.

6) Paket tampilan GIS dan analisis data base untuk keseluruhan komponen program IDT.

b. Sistem Data Base dan Informasi Geografis.
Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang mendukung proses perencanaan dan monitoring pelaksanaan program serta analisis dampaknya, diperlukan suatu sistem informasi yang dapat mengumpulkan dan menyimpan masalah dan memperbaruhi data dengan cakupan informasi cukup besar dan mempunyai kemampuan untuk digunakan menyajikan data mikro maupun makro secara akurat, tepat waktu, padat serta dapat disajikan secara jelas, sederhana dan komunikatif.

Sistem dengan fungsi seperti itu diwujudkan dengan mamadukan dua subsistem utama :

1) Sistem pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan pembaharuan data pembangunan daerah di Bappenas yang mencakup sumber data dari Bappenas, Badan Pusat Statistik, Departemen Dalam Negeri, Instansi Sektoral (Departemen dan Lembaga Pemerinta Non Departemen) serta Instansi terkait di daerah, termasuk proyek-proyek dan studi dibawah koordinasi masing-masing instansi terkait dengan program Pembangunan Regional dan Daerah pada umumnya dan khususnya Program Penanggulangan Kemiskinan.

2) Sistem pengumpulan, pengolahan dan penyajian informasi georgrafis yang didukung dengan data spasial (Sistem Informasi geografis) yang dimutakhirkan secara bertahap. Data Spasial dihimpun dan dimutakhirkan berdasarkan informasi dari Biro Pusat Statistik (BPS), Bakosurtanal, Depdagri dan instansi terkait di daerah.

Sistem informasi yang sedang dikembangkan ini akan mendukung pengolahan data pembangunan daerah seperti Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres Desa dan Inpres Desa Tertinggal.

Sistem informasi ini dirancang dan dibangun dengan pendekatan sistem terbuka. Pada tahap awal, selain Bappenas, data dikumpulkan oleh berbagai instansi, baik tingkat pusat maupun Daerah. Makanisme pemutakhiran data spasial, data atribut maupun informasi dalam sistem yang disusun berdasarkan kesepakatan antara instansi terkait.

Pada masa mendatang sistem ini akan siap untuk mengakomodasikan data yang dikumpulkan oleh intansi lain yang juga mempunyai program penanggulangan kemiskinan seperti BKKBN, Departemen sosial, Depatemen Pertanian dan instansi terkait. Bahkan semua instansi terkait sektoral atau pembangunan daerah juga kan dapat berperan aktif dalam pengoperasian Sistem Informasi Geografis Pembangunan Daerah dan Regional ini. Institusi pengelola sistem ini yang bersifat fungsional, nantinya diharapkan akan secara luwes dikembangkan secara lintas dan antar sektor.

Data spasial yang sedang dikembangkan saat ini meliputi :

- Garis Pantai - Batas administrasi propinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan dan desa di seluruh wilayah Indonesia.

- Jaringan Jalan

- Sungai

- Kontur

- Sistem lahan.

Sajian informasi atribut yang bersifat geografis dari sistem ini akan diwujudkan pada berbagai tingkat dan satuan wilayah informasi, mulai dari tingkat nasional dan seterusnya untuk satuan wilayah informasi regional, propinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan dan desa.

4. Rencana Kegiatan TA. 1997/1998 - 1998/1999.

Sesuai dalam pidato Bapak Presiden dalam Penjelasan RAPBN TA. 1997/1998, dalam rangka mempercepat peningkatan penanggulan kemiskinan khususnya untuk bantuan Prasaranan perdesaan selain bantuan kerjasama antara Pemerintah dengan pihak donor (Bank Dunia dan OECF), dalam TA. 1997/1998 Pemerintah melalui APBN juga memberikan bantuan untuk pembangunan prasarana di perdesaan dengan demikian untuk Bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal mempunyai 3 sumber dana yang terdiri dari :

a. Kerjasama Pemerintah dangan Bank Dunia, untuk wilayah Jawa dan Sumatera yang akan menerapkan pola swakelola oleh masyarakat desa. Dengan demikian cangkupan wilayah pola swakelola lebih luas dari tahun sebelumnya dengan ditambahkan pulau Sumatera.

b. Kerjasama Pemerintah dengan OECF, untuk wilayah Indonesia selain Jawa dan Bali yang mencakup 21 Propinsi. Untuk bantuan ini pola yang diterapkan adalah pola Kerjasama Operasional dengan dimungkinkan porsi KSO untuk masyarakat sebesar 100 %.

c. APBN, bantuan yang bersumber dari APBN memadukan dua pola yang ada. Untuk KBI dengan memakai pola swakelola, sedangkan untuk KTI dengan melihat dari luas dan geografis masih memakai pola KSO. Untuk tahun-tahun berikutnya akan dikembangkan untuk wilayah lain yang dianggap mampu di KTI.